TIDAK jauh dari Sungai Henares di Semenanjung Iberia, Alcala mulai dihuni manusia pada abad pertama Masehi. Bangsa Romawi yang pertama kali menetap di sana menyebutnya Complutum, yang berarti sebuah kawasan di mana dua sungai bertemu dan bergabung menjadi satu. Kata complutum ini kelak diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi confluence untuk menjelaskan fenomena geografis itu.
Alcala de Henares yang berpenduduk 250 ribu jiwa masuk dalam Komunitas Otonom Madrid. Dari pusat Madrid, jaraknya sekitar 35 kilometer ke arah timurlaut.
Adapun kata alcala tampaknya dipengaruhi kata dalam bahasa Arab, al qala, yang berarti benteng. Ini merujuk pada kota-kota benteng yang dibangun orang-orang Islam ketika menguasai Andalusia di abad ke-8 sampai abad ke-15.
Kemarin Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol, Muhammad Najib, mengajak saya berkunjung ke kota itu. Persisnya ke Universidad de Alcala.
"Insya Allah, Anda tidak akan menyesal. Ini tidak kalah dari Toledo," ujar Dubes Najib.
Saya mengenal Dubes Najib sejak lama, setelah meluncurkan novel berjudul "Konspirasi" tahun 2005. Ketika itu ia duduk sebagai anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).
Saya ingat, menemukan novel "Konspirasi" di atas meja di ruang redaksi. Dibawa seorang reporter yang baru datang dari liputan di Gedung DPR RI Senayan.
Begitu membacanya saya langsung tertarik. Sulit berhenti. Saya putuskan untuk meresensi novel itu. Setelah menemukan nomor sang penulis, saha hubungi dan kami berdiskusi mengenai "Konspirasi". Sejak itulah kami bersahabat.
Sebagai penulis, Dubes Najib cukup produktif. Novel "Konspirasi" yang bercerita tentang kehidupan mantan eks-Mujahiddin Afghanistan asal Indonesia itu bukan buku pertama yang ditulisnya.
Sebelumnya, dari pengamatan dan pengalaman di masa-masa awal Reformasi saja ia telah menulis setidaknya 8 buku!
Artikel-artikel yang ditulisnya dalam beberapa tahun terakhir dan diterbitkan RMOL telah dibukukan oleh Amanat Institute. Menjadi 5 buku! Judul besarnya: “Mengapa Umat Muslim Tertinggal”.
Dubes Najib mulai bertugas di Madrid bulan November lalu. Bayangkan, dalam waktu kurang lebih 6 bulan sejak itu, pria kelahiran Singaraja, Bali ini sudah menyelesaikan 2 novel yang terinspirasi kisah kejayaan dan kehancuran Islam di Andalusia.
Kedua novel itu berjudul “Di Beranda Istana Alhambra" dan kedua "Andalusia: Jembatan antara Timur dan Barat".
Jadi, saat mendengar ia mengatakan, "Insya Allah, Anda tidak akan menyesal," saya yakin itu bukan basa-basi untuk menghibur saya yang batal berkunjung ke Toledo.
***
Tadinya saya memang sudah siap-siap untuk kecewa. Bagaimanapun Toledo adalah kota penting di Spanyol. Provinsi yang masuk dalam Komunitas Otonom Castilla - La Mancha ini pernah menjadi pusat kekuasaan Visigoth di Semenanjung Iberia dari 542 sampai 711 M.
Pengaruh Toledo sebenarnya sudah berkurang jauh saat Bani Ummayah dari Damaskus, Suriah, tiba di Iberia yang kemudian dikenal dengan nama Andalusia.
Pemimpin Bani Ummayah itu adalah Abdurrahman ad Dakhil yang melarikan diri dari tanah kelahirannya karena dikejar-kejar oleh Bani Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad. Ia tiba di Andalusia tahun 750 M.
Dari Cordoba, perlahan tapi pasti ia mengkonsolidasi kekuatan dan kekuasaan. Menjadikan Cordoba dan dirinya sebagai kekhalifahan alternatif selain Abbasiyah di Baghdad, Irak, dan Fatimiyah di Kairo, Mesir.
Kekuasaan Bani Ummayah di Cordoba berakhir di tahun 1031 setelah Hisham III digulingkan dan akhirnya meninggal dunia lima tahun kemudian dalam pelarian di Balaguer, kini Provinsi Katalonia, Spanyol.
Setelah itu kekuatan umat Muslim di Andalusia terpecah menjadi beberapa taifa, faksi-faksi yang berkembang di Andalusia dan ikut mendorong atau mempercepat kejatuhan Bani Ummayah.
Dua taifa yang sempat memiliki kekuasaan besar setelah Bani Ummayah di Cordoba adalah Bani Murabitun atau Dinasti Amoravid yang berkuasa dari 1040 sampai 1147, dan Bani Al Muwahidun atau Kekhalifahan Almohad dari tahun 1121 sampai 1269.
Sebelumnya di tahun 1212, pasukan Al Muwahidun dikepung oleh koalisi Kristen yang terdiri dari Castile, Aragon, Navarre, Santiago, Calatrava, juga Jerman dan Italia.
Dalam pertempuran di La Navas de Tolosa itu, menurut Wikipedia, pasukan Al Muwahidun lebih banyak yakni antara 22 ribu sampai 30 ribu tentara. Sementara jumlah pasukan koalisi Kristen hanyak sekitar 12 ribu sampai 14 ribu tentara.
Namun, Al Muwahidun kalah, dan sekitar 20 ribu tentaranya terbunuh. Di sisi lain, koalisi Kristen hanya kehilangan sekitar 2.000 tentara.
Kemenangan koalisi Kristen dalam pertempuran di La Navas de Tolosa adalah titik balik yang sangat signifikan. Mereka mengejar pasukan Al Muwahidun dan memaksanya mundur ke Cordoba. Sampai akhirnya 1236 Cordoba benar-benar ditaklukkan.
Hingga kejatuhan Cordoba itu, kekuatan Islam masih bertahan di Andalusia. Kota terakhir adalah Alhambra di Granada kini.
Tapi akhirnya, Alhambra pun direbut koalisi Kristen yang dipimpin Raja Ferdinand II dari Aragon dan istrinya Ratu Isabela dari Castile pada tahun 1492.
Lebih dari separuh abad kemudian, di tahun 1561 Raja Philip II membangun pusat pemerintahan di Madrid.
***
Universitas Alcala cukup tua. Cikal bakalnya adalah sebuah Studium Generale yang didirikan tahun 1293 oleh Raja Sancho IV dari Castile.
Tahun 1459, Paus Pius II memerintahkan pendirian tiga cathedras di tempat itu sehingga ia semakin lengkap menjadi lembaga pendidikan tinggi.
Di penghujung abad ke-15, persisnya 1499, Kardinal Francisco Jimenez de Cisneros mendirikan universitas di Alcala de Henares yang menurut Wikipedia, dalam catatan sejarah dikenal dengan berbagai nama, dari Universitas Complutense, Universitas Cisneriana, sampai Universitas Alcalá.
Di tahun 1836 Ratu Maria Christina memindahkan Universitas Alcala ke Madrid dan mengubah namanya menjadi Literary University, lalu di tahun 1851 menjadi Universitas Pusat Madrid.
Di tahun 1970, namanya kembali diubah. Kali ini menjadi Universitas Complutense Madrid.
Di tahun 1975, Universitas Complutense kembali ke Alcala dengan membuka cabang disana, dan di tahun 1977 nama lama universitas ini dikembalikan: Universidad de Alcala de Hernares.
Sampai sini soal ganti mengganti nama ternyata belum berhenti. Di tahun 1996, namanya disingkat menjadi Universidad de Alcala. Sampai kini, dan entah nanti.
Dua tahun kemudian, UNESCO menetapkan komplek kampus ini sebagai Situs Peninggalan Dunia.
Tadi kami sempatkan duduk sebentar di kafetaria di bagian dalam gedung rektorat yang klasik dan antik. Mendengarkan penjelasan seorang teman tentang beberapa tokoh dunia yang mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universidad Alcala.
Misalnya tokoh Palestina Yasser Arafat dan tokoh Israel Shimon Peres (1996), juga mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Tokoh antiapartheid dari Afrika Selatan yang gemar pakai batik Indonesia itu mendapatkan gelar DRHC tahun 2001.
***
Tentu saja Alcala tidak hanya soal Universidad de Alcala. Ingat, kota ini sudah berdiri sejak abad pertama Masehi. Banyak hal penting yang terjadi di kota itu, dan sangat mempengaruhi perjalanan peradaban manusia sampai kini.
Salah satunya terkait dengan pelaut dan penjelajah kelahiran Genoa, Italia ini: Christopher Columbus.
Seperti penjelajah sebelum dan sesudahnya setelah era Rennaisance itu, mimpi Columbus pun ada satu, yakni melakukan pelayaran untuk menemukan dunia baru.
Columbus berpikir out of the box. Ia memanfaatkan pengetahuan yang baru berkembang di Eropa kala itu, bahwa bumi tidak datar, melainkan bundar.
Dengan demikian, bila ingin menemukan dunia baru yang kaya rempah di timur, dia tidak harus mengekor di belakang pelaut-pelaut yang sudah berangkat lebih dahulu ke timur.
Proposal Columbus sederhana. Untuk menemukan timur dalam waktu singkat, ia akan berlayar ke barat, membelah Atlantik.
Tapi Columbus harus kecewa berkali-kali. Tahun 1485, ia tawarkan gagasan ini kepada Raja John II dari Portugal. Proposal ini ditolak.
Mungkin juga karena permintaannya terlalu banyak. Columbus minta diangkat sebagai Laksamana Besar dan gubernur untuk setiap dunia baru yang ditemukannya.
Columbus tak mudah menyerah. Tahun 1488, ia kembali menyampaikan proposal yang sama ke Raja John II. Kali ini Raja John II mengundang Columbus hadir dalam pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Raja. Hasilnya, kembali ditolak.
Ditolak dua kali di Portugal, Columbus kembali ke kampung halamannya di Genoa dan Venice. Tapi, Italia pun tak tertarik.
Dia lalu mengutus adiknya, Bartholomew Columbus, menghadap Raja Hendry VII di Inggris. Tapi lagi-lagi hasilnya sama saja.
Pada 1 Mei 1486 Columbus menyampaikan rencana penjelajahannya pada Ratu Isabela I dari Castile. Mereka bertemu di istana Isabela di Alcala.
Tapi meyakinkan Isabela bukan hal yang mudah. Kelompok penasihat Isabela juga menilai proposal Columbus tidak begitu menarik. Apalagi Isabela dan suaminya Raja Ferdinand II dari Aragon ketika itu sedang berusaha menundukkan Granada. Mereka tak mau kehilangan fokus.
Nam un begitu, Isabela tak ingin ide Columbus itu diambil pihak lain. Maka untuk mengikat Columbus, Isabela memberikan tunjangan tahunan dalam jumlah cukup besar. Selain itu, penguasa kota-kota di bawah domain Ratu Isabela diperintahkan menjamu Columbus sebaik mungkin.
Columbus rasanya tak puas. Tapi situasi ini lebih baik daripada penolakan-penolakan yang telah dialaminya sebelum itu.
Tahun 1492 Ferdinand II dan Isabela I berhasil merebut seluruh Andalusia. Granada, benteng terakhir penguasa Muslim direbut dengan mudah.
Tak lama setelah kemenangan besar itu, Columbus bertemu dengan pasangan adikuasa ini di Benteng Alcazar di Cordoba.
Selanjutnya, kita sudah sama-sama tahu, pelayaran ke barat untuk menemukan timur itu pun dimulai.
Selesai soal Alcala?
Belum. Masih ada sambunganya. Tapi nanti. Saya mau ke kebun bunga tulip dulu. Di Keukenhoof, Duin-en Bollenstreek, Belanda.
Teguh Santosa adalah pendiri Kantor Berita Politik Republik Merdeka atau RMOL.Memiliki minat dan ketertarikan pada dunia pers sejak masih muda, kini Teguh sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Jurusan Hubungan Internasional Unpad, selain itu juga sedang aktif menulis beberapa buku, diantaranya "Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik".